Oleh Artawijaya*
Surat-surat Kartini yang kental dengan doktrin pluralisme agama,
okultisme, dan humanisme ala Theosofi banyak ditujukan kepada
sahabat-sahabatnya yang berdarah Yahudi. Siapa saja mereka?
Lewat sebuah
iklan di Majalah De Hollandse Lelie, sebuah majalah wanita yang terkenal pada
saat itu dan terbit di Belanda, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) berkenalan
dengan Estella H Zeehandelaar, seorang perempuan Yahudi pejuang feminisme
radikal yang tinggal di Amsterdam, Belanda. Estella- atau yang disebut oleh
Kartini dalam surat-suratnya dengan Stella, adalah anak seorang dokter dari
keluarga Yahudi. Stella dikenal sebagai pegiat feminisme, sosialisme, aktivis
penyayang binatang, dan seorang vegetarian layaknya penganut Theosofi yang
cukup berpengaruh saat itu. Stella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij
(SDAP), partai pengusung sosialis-demokrat di negeri Belanda yang
ketika itu memperjuangkan sosialisme dan humanisme, termasuk ide-ide tentang
kesetaraan gender dan pluralisme.
Perkenalan
Kartini dengan Stella berlangsung lewat korespondensi surat-menyurat. Surat
pertama ditulis Kartini pada 25 Mei 1899, ketika usianya menginjak 20 tahun.
Tak sulit bagi Kartini untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Belanda,
mengingat sebagai anak priyai Jawa, ia mempunyai akses yang mudah untuk
melakukan itu. Teman-temannya semasa di Europese
Lagere School (ELS) kebanyakan adalah anak-anak Eropa, khususnya
Belanda. Paman dan saudara-saudaranya juga dekat dengan elit Belanda.
Surat menyurat
Kartini dengan Stella banyak membicarakan mengenai kebatinan dan keyakinan
agama. Dalam surat-suratnya, Stella juga banyak memperkenalkan Kartini dengan
berbagai paham modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.
Mengenai persahabatannya dengan Kartini, Stella pernah menulis surat kepada Ny.
Nellie van Koll, tertanggal 28 Juni 1902, yang mengatakan, ”Kartini dilahirkan sebagai seorang
Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami
mempunyai pemikiran yang sama tentang Tuhan...”
Dalam suratnya
kepada H.H van Kol, anggota Freemason yang juga suami dari Nellie van Kol,
tertanggal 10 Agustus 1902, Kartini juga mengatakan, ”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi
tidak mengapa. Tuhannya, Tuhan kita semua.” Sedangkan kepada
Stella, dalam surat tertanggal 6 Nopember 1899, Kartini mengatakan, ”Ya Tuhanku, adakalnya aku berharap,
alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, sebenarnya yang harus mempersatukan
semua hamba Allah...orang yang seibu sebapak berlawanan karena berlainan cara
mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sangatnya,
dengan amat sedihnya bercerai berai.Karena berlainan tempat menyeru Tuhan,
Tuhan yang itu juga, berdirilah tembok yang membatasi hati yang
berkasih-kasihan. Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali
kepada diriku sendiri dengan bimbang hati...”
Kumpulan surat
Kartini kepada Stella Zeehandelaar bisa dilihat dalam korespondensi Kartini
periode 1899-1903, yang kemudian dikumpulkan oleh Dr. Joost Cote dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, ”Aku Mau...Femininisme dan Nasionalisme:
Surat-Surat Kartini Kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903”. Buku ini
diterbitkan pada 1979 untuk mengenang seabad wafatnya Kartini.
Sosok lain yang
menjadi sahabat Kartini adalah Nyonya Rosa Manuela Abendanon Mandri atau sering
disingkat Ny. RM Abendanon Mandri. Perempuan berdarah Yahudi, kelahiran Puerto
Rico ini adalah istri kedua dari Jacques Henri Abendanon, Direktur Kementerian
Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan di Hindia Belanda. Ny. Abendanon disebut oleh
Kartini sebagai orang satu-satunya yang banyak mengetahui kehidupan
batinnya.Ny. Abendanon juga banyak mengirimkan buku-buku terutama tentang
humanisme, diantaranya buku Karaktervorming
der Vrouw (Pembentukan Akhlak Perempuan) karya Helena
Mercier, Modern Maagden(Gadis
Modern) karya Marcel Prevost, De
Vrouwen an Socialisme(Wanita dan Sosialisme) karya August Bebel
dan Berthold Meryankarya
seorang sosialis bernama Cornelie Huygens. Kartini juga membaca buku De Stille Kraacht(Kekuatan
Gaib) karya Louis Coperus.
Surat-surat
Kartini dengan RM Abendanon kemudian diterbitkan pada 1911 oleh Kartini Fonds,
sebuah lembaga yang dibentuk oleh seorang humanis yang juga terlibat dari
Gerakan Politik Etis, Conrad Theodore van Daventer. Kumpulan surat tersebut
kemudian diberi judul “Door
Duisternis tot Licht”, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Sastrawan anggota Theosofi, Armijn Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Majalah Tempo,
12 Oktober 1987, mengulas mengenai terbitnya buku yang berisi surat menyurat
Kartini dengan Ny. RM Abendanon dan J.H Abendanon. Majalah Tempo menulis, tak
semua surat-surat Kartini ditampilkan dalam buku tersebut. Stella, yang diduga
memiliki sedikitnya 20 surat Kartini, hanya meminjamkan 14 pucuk. Annie Glaser,
sosok yang disebut dalam surat Kartini, yang menceritakan spiritualisme gaib,
bahkan sama sekali menolak meminjamkan surat-srat Kartini yang ada di tangannya
untuk dipublikasikan.
Sejumlah surat
lainnya, diterbitkan namun sudah diedit dan dipotong oleh Ny. Abendanon. Inilah
yang menjadi pertanyaan sebagaimana diajukan oleh Dr.Th Sumarna dalam
bukunya “Tuhan dan
Agama dalam Pergulatan Batin Kartini”, entah dengan alasan apa
surat-surat Kartini yang berisi yang berisi pengalamannya dalam dunia
okultislme dan mistisisme “disensor” oleh Abendanon? Keterangan mengenai
kepercayaan Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari surat-suratnya yang
ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol. Seperti diketahui, okultisme
banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi, sebagai bagian dari
ritual perkumpulan mereka.
Cerita mengenai
okultisme sempat disinggung oleh Kartini dalam suratnya, 15 Juli 1902. Kartini
menulis, ”Mengenai
spiritisme yang dianutnya (Tuan Van Kol, pen) dengan setia, sudah diceritakan
Annie kepada Nyonya, bukan? Saya senang sekali bahwa diperkenalkan dengan
kepercayaan itu, tidak untuk memanggil rohnya, tetapi mengenai indahnya
kepercayaan itu. Ajaran itu mendamaikan kami banyak hal, yang tampaknya
ketidakadilan berat dan memberikan hiburan, bahwa kegagalan kami sekarang dalah
penebusan dosa dalam kehidupan sebelumnya...kami sungguh-sungguh tercengang.
Tuan Van Kol mengatakan bahwa dia dan istrinya melalui spiritisme memperoleh
banyak nasihat dari dunia arwah.”
Tuan dan Nyonya
Abendanon adalah sahabat karib Snouck Hurgronje. Atas saran Snouck-lah, Tuan
Abendanon, yang juga berdarah Yahudi, yang saat itu menjabat sebagai Direktur
Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan di Hindia Belanda, diminta untuk mendekati
Kartini bersaudara.Snouck yang ketika itu menjabat sebagai Penasehat
Pemerintahan Hindia Belanda, meminta Abendanon agar menaruh perhatian lebih
kepada Kartini. Tujuannya adalah, merekrut sebanyak mungkin anak-anak priayai
agar tercapai proses asimiliasi antara kebudayaan Barat dan pribumi.
Kepada Ny.
Abendanon, Kartini pernah menitip pesan agar menanyakan hal yang berkaitan
dengan hukum Islam. Kartini menganggap Snouck sebagai orang yang paham Islam,
padahal sesungguhnya seorang orientalis yang pura-pura mendalami Islam. Kartini
menulis, ”Apabila bila
Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr Snouck Hurgronje, sudikah nyonya bertanya
kepada beliau tentang hal berikut:Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil
balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya
saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali
mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak
perempuannya. Bagaimana undang-undang agama mereka? Suatu hal yang bagus
sekali, saya malu bahwa kami sendiri tidak tahu tentang hal itu...”
Nama-nama lain
yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan H.H Van Kol (anggota
Freemason), Ny Nellie Van Kol, Ny M. C.E Ovink Soer, E.C Abendanon (anak J.H
Abendanon), dan Dr N Adriani. Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan
tentang Bibel dan spiritualisme, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini banyak
mengeritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan Kartini semua agama
sama saja.
Ridwan Saidi
dalam buku Fakta dan
Data Yahudi di Indonesia memiliki cerita lain. Ridwan
mengatakan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit Jawa dan
mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini menjadi bidikan
kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang
Belanda saat itu. Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang Belanda gagal
mengajak Kartini berangkat studi ke negeri Belanda. Karena gagal, maka mereka
menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini seorang gadis kader Zionis bernama
Josephine Hartseen.Hartseen, menurut Ridwan adalah nama keluarga Yahudi.
Tulisan ini
bisa dibilang adalah pengantar bagi mereka yang ingin meneliti secara serius
dan mendalam tentang bagaimana pemikiran dan paham keagaaman Kartini, dan
sejauh mana para keturunan Yahudi tersebut mempengaruhi pemikirannya? Dalam
buku ”Gerakan Theosofi
di Nusantara”, penulis menyimpulkan bahwa corak pemikiran dan
keagamaan Kartini sangat kental dengan muatan Theosofi. Itu tercermin dari
surat-suratnya dan pertemanannya dengan para Yahudi Belanda. Namun, bisa saja
data yang tak terungkap lebih banyak, mengingat surat-menyurat Kartini tak
semuanya diterbitkan, dan sebagian entah kemana...
*Penulis buku
”Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2010.
Sumber:http://eramuslim.ubik.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar