Rabu, 18 April 2012

BUNG HATTA, SANG NURANI BANGSA

Oleh : Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum



Jalan sejarah Bung Hatta bisa jadi akan berbeda jika saja kemauan keluarga dari pihak ayahnya dituruti agar ia ikut pamannya bermukim dan belajar agama di Mekkah supaya kelak bisa melanjutkan pelajaran di Al Azhar Kairo. Ia mungkin hanya akan menjadi seorang ulama di tanah kelahirannya, Bukittinggi, sebagaimana diharapkan oleh keluarga besar dari garis ayahnya. Mereka ingin agar Hatta melanjutkan posisi kakeknya yang merupakan ulama terpandang di Batuhampar. Namun, Bung Hatta tidak memasuki pintu sejarah dari Mmekkah melainkan dari Belanda, negeri yang pada waktu itu tengah menjajah bangsanya. Belajar di negeri penjajah telah membangkitkan kesadaran bahwa tanpa sebuah generasi yang rela terjun memperjuangkan nasib bangsanya, maka mustahil rakyat akan memperoleh kemerdekaan dan kebebasan untuk menentukan nasib dirinya-sendiri. Bung Hatta mengambil jalan itu, menjadi generasi yang sadar bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan. Maka sambil belajar ilmu ekonomi ia memupuk kepekaan dan kemampuan dirinya melalui dengan berorganisasi.
Tanggal 3 Agustus 1921 ia memulai perjalanan panjang menuju ke negeri Belanda dengan menumpang kapal “Tambora” milik Rotterdamse Lloyd dengan membawa sejuta harapan setelah tamat dari Prins Hendrik Handels School di Batavia. Ia menghabiskan perjalanannya selama satu bulan, ketika tanggal 5 September akhirnya kapal yang ia tumpangi merapat di pelabuhan Rotterdam. Di kota ini perjalanan sejarah Bung Hatta dimulai, ketika ia secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa di Handelshoge School, Sekolah Tinggi Dagang. Sebagai seorang mahasiswa ia sadar betul bahwa sebagian tanggung jawab untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan ada di pundaknya, dan di Negeri Belanda ikhtiar ke arah itu tengah dilakukan oleh rekan-rekan yang lebih dulu sampai. Mereka telah membentuk wadah perjuangan melalui jalur politik, Indische Vereeniging. Sejak kehadirannya, ia secara sadar memasuki organisasi tersebut. Ia berharap dengan bergabung ke organisasi tersebut mental politiknya akan terbentuk. Bung Hatta benar, Indische Vereeniging telah menghantarkannya ke panggung yang lebih luas, bukan hanya di Negeri Belanda tetapi di tingkat internasional.
Terjun di Dunia Pergerakan
Bulan Februari 1922 Indische Vereeniging mengadakan rapat untuk memilih pengurus baru. Selain mengganti pengurus ternyata peserta rapat sepakat untuk mengganti nama organisasi tersebut menjadi Indonesische Vereeniging. Penggantian nama dapat dimaknai bahwa gagasan tentang sebuah bangsa yang kongkrit telah tumbuh di kalangan intelektual Indonesia yang sedang menimba ilmu di Negeri Belanda, termasuk di benak Bung Hatta. Setahun kemudian Bung Hatta aktif terlibat menjadi pengurus organisasi ini sampai akhirnya terpilih menjadi ketuanya pada tahun 1926 setelah nama organisasi tersebut diganti lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tanggal 8 Februari 1925. Dengan menjadi ketua maka langkah Bung Hatta ke dunia politik terbuka sudah. Sikap organisasi yang semakin keras terhadap pemerintah Belanda telah menyebabkan organisasi ini dianggap melakukan penentangan. Orang tua para anggotanya diancam oleh pemerintah jajahan, membiarkan anaknya menjadi anggota PI atau mereka sendiri keluar dari jabatan negara, jika yang bersangkutan seorang pegawai negeri. Ancaman tersebut tidak menggentarkan Bung Hatta dan kawan-kawannya di PI.
Bung Hatta mulai aktif mempropagandakan Indonesia ke berbagai kawasan di Eropa. Dalam berbagai kesempatan ia menuntut penggunaan kata “indonesia” bukan “Hindia Belanda”. Berbagai kongres ia hadiri, terutama yang berkaitan dengan gerakan anti kolonialisme, sampai akhirnya sepulang menghadiri konferensi Liga Internasional Wanita yang diselenggarakan di Swiss, Bung Hatta beserta tiga rekannya ditangkap polisi Belanda. Ia dituduh telah menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Selama lima setengah bulan mereka ditahan dan diinterogasi berulang kali sampai akhirnya diajukan ke sidang pengadilan. Bung Hatta menolak didampingi seorang pengacara, ia akan melakukan pembelaan oleh dirinya sendiri. Sidang di pengadilan akhirnya memutuskan bahwa tuduhan terhadap Bung Hatta dan rekan-rekannya tidak dapat dibuktikan. Akhirnya mereka dibebaskan.
Berjuang di Tanah Air
Sebelas tahun lamanya Bung Hatta menempuh pendidikan di Negeri Belanda. Tanggal 5 Juli 1932 ia dinyatakan lulus sebagai sarjana ekonomi. Waktu studi yang demikian panjang dikarenakan aktifitas dia dunia pergerakan. Seminggu setelah dinyatakan lulus ia kembali ke tanah air. Selain gelar sarjana dan ilmu tentang ekonomi, oleh-oleh lain yang amat penting adalah 16 peti besi berisi buku. Bung Hatta adalah seorang kutu buku dan pencinta buku.
Bulan september 1932 adalah pertemuan pertama antara Bung Hatta dengan Bung Karno. Setelah itu keduanya seperti dipertautkan antara satu dengan lainnya, berjuang bersama membela tanah air. Walaupun selalu seiring, keduanya sebenarnya dipersatukan oleh perbedaan. Polemik yang pertama antara keduanya mengenai strategi perjuangan terjadi pada dua surat kabar yang berbeda. Perbedaan pandangan antara keduanya dalam menyikapi berbagai persoalan terus mereka bawa sampai Indonesia merdeka dan mereka memimpin Republik Indonesia. Puncak kerjasama keduanya terpatri abadi pada teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan tanggal 17 Agustus 1945. Di sana nama mereka berdua tertera sebagai wakil bangsa Indonesia. Selebihnya mereka selalu bersatu dalam perbedaan. Beberapa kali mereka harus menikmati pembuangan oleh pemerintah jajahan, kadang bersama namun lebih banyak ditempatkan di tempat yang berbeda. Puncak perbedaan antara Bung Hatta dan Bung Karno terjadi pada tahun 1956 ketika Bung Hatta akhirnya mengundurkan diri sebagai wakil presiden
Berpisah dengan Bung Karno
Tahun 1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama sejak merdeka. Bagi Bung Hatta pemilihan umum adalah instrumen paling demokratis untuk melakukan refreshing pemerintahan. Ia beranggapan bahwa dengan selesainya pemilihan umum maka pada tempatnya pejabat-pejabat negara diganti. Namun perkembangan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan lancar sesuai harapan. Bung Hatta berbeda paham dengan Bung Karno, sang presiden, yang dari waktu ke waktu semakin meruncing. Bung Karno semakin memperlihatkan perilaku yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan. Berbagai masukan Bung Hatta dari yang lunak sampai nyang amat keras diabaikan begitu saja.
Pada sisi yang lain, sikap-sikap partai politik juga mengecewakan. Mereka saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat. Wakil partai yang duduk di pemerintahan tidak menunjukkan sebagai staatsman (negarawan) tetapi lebih memperlihatkan sebagaipartijman (orang partai). Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mengambil sikap mementingkan politik dan aspirasi partai ketimbang memikirkan nasib bangsa dan negara. Posisi waklil presiden nyaris sebagai simbol belaka karena kekuasaan Bung Karno sebagai presiden sedemikian besar, nyaris mutlak.
Perbedaan pandangan dengan Bung Karno semakin meruncing menyikapi revolusi, apakah revolusi harus berlanjut atau berhenti samoai di sini dan kita mulai membangun negara. Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya. Sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsa, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan. Perbedaan tidak bisa dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai wakil presiden, turun dari gelanggang politik dan memilih menjadi orang biasa. Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, Bung Hatta menjawab ringan, “Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa.” Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak haus kekuasaan.
Setelah menjadi orang biasa langkah Bung Hatta seringkali mendapat kesulitan. Bukunya yang berjudul “Demokrasi Kita” yang terbit pada tahun 1960 dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Yang sudah terlanjur beredar ditarik kembali oleh institusi tersebut. Buku tersebut dianggap banyak mengkritik Bung Karno. Bung Hatta melalui buku tersebut memberi ketegasan secara terang mengapa ia memilih mundur dari pemerintahan. Ia ingin memberikan kesempatan kepada karibnya, Bung Karno untuk membuktikan sendiri benar-salahnya konsepsi yang dirumuskannya. ...”Bagi saya yang lama bertengkar dengan Sukarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan...”
Pada tahun itu pula statusnya sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dicabut. Bung Hatta dilarang mengajar, ruang gerak beliau dibatasi. Apakah perlakuan yang diterima oleh Bung Hatta resmi perintah presiden ataukah hanya tindakan para pembantu presiden yang over acting, tidak ada yang tahu persis. Sebagai contoh misalnya, pada suatu ketika Bung Hatta melalui sekretaris pribadinya, Wangsa Widjaya, pernah menyampaikan kepada Supeni (orang dekat Bung Karno dan staf di Deplu) bahwa beliau diundang menghadiri suatu konferensi internasional di Wina. Tetapi katanya, Menteri Luar Negeri Subandrio memberitahu bahwa Presiden Sukarno tidak setuju kalau Bung Hatta menghadiri acara tersebut. Supeni akhirnya menanyakan hal tersebut apakah betul bahwa Presiden Sukarno mengatakan demikian. Presiden Sukarno menjawab bahwa beliau sama sekali tidak mendengar bahwa Bung Hatta diundang, apalagi melarangnya ke luar negeri. Akhirnya tanpa halangan apapun Bung Hatta dapat hadir di acara tersebut.
Tidak Ada Dendam
Walaupun Bung Hatta sudah berpisah dengan Bung Karno dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan, namun hubungan keduanya sebagai seorang sahabat tetap baik. Tidak ada dendam pribadi diantara keduanya, hubungan mereka tetap akrab walaupun sering berbeda pendapat secara tajam mengenai masalah-masalah kenegaraan. Serang-menyerang antara keduanya baik secara terbuka maupun melalui surat kabar sudah dimulai sejak jaman pergerakan. Namun menyangkut hubungan pribadi mereka saling menjaga agar satu sama lain tidak menyinggung perasaan dan tidak menyakiti hati. Pada suatu waktu di tahun 1962 Bung Hatta sakit, pada saat itu Bung Karno menyempatkan diri menengok sahabatnya tersebut lalu memutuskan agar Bung Hatta memperoleh perawatan yang baik di luar negeri. Akhirnya Bung Hatta dapat berobat ke Swedia.
Demikianlah sebaliknya, ketika Bung Karno menjadi tahanan rumah oleh rezim Suharto pasca G 30 S/PKI Bung Hatta tetap menaruh perhatian atas nasibnya. Pertemuan antara keduanya tidak mungkin lagi karena penguasa melarang siapapun untuk menemui Bung Karno, sampai akhirnya jatuh sakit yang demikian parah. Setelah melihat penderitaan Bung Karno yang sudah sedemikian parah, Bung Hatta minta kepada Presiden Suharto agar Bung Karno dirawat di rumah sakit. Presiden Suharto akhirnya mengijinkan beliau dirawat di RS Gatot Subroto, tetapi dengan pengawalan yang amat ketat dan dengan perawatan ala kadarnya. Pada suatu saat Bung Hatta mengajukan permohonan kepada Presiden Suharto agar diijinkan untuk menengok karibnya yang tengah dirundung malang tersebut. Maka, bertemulah kedua proklamator di rumah sakit, sebuah pertemuan yang digambarkan oleh Meutia Hatta putri Bung Hatta, sedemikian mengharukan.
“Begitu masuk ruang,” tulis Meutia putri Bung Hatta, “Ayah langsung menuju tempat tidur Bung Karno sambil berkata: “Aa No, apa kabar?” “Bung Karno diam saja, memandang Ayah beberapa lama. Kemudian mengucapkan kata-kata yang sulit kami tangkap, tapi kira-kira berbunyi: “hoe gaat het met jij? –apa kabar?”
“Tak lama kemudian, beberapa kali air mata beliau menetes ke bantal, sambil memandang Ayah beberapa lama yang terus memijiti lengan Bung Karno. Beliau malah minta dipasangkan kacamata, agar dapat memandang Ayah lebih jelas lagi.”
“Tidak ada kata-kata lebih lanjut, namun kiranya hati keduanya saling berbicara. Mungkin juga beliau berdua mengenang suka-duka di masa perjuangan bersama sejak puluhan tahun yang silam, masa-masa pergaulan bersama dan mungkin saling memaafkan.” Demikian kenang Meutia. Tidak ada dendam, tidak ada amarah, demikianlah mereka saling berbeda pendapat, tetapi nurani mereka tetap bersih tak ternoda karena sadar bahwa hidup hanya sekejap. Pertemuan tersebut menjadi pertemuan terakhir antara keduanya, karena dua hari sesudahnya Bung Karno wafat.
Pribadi yang Sederhana
Bung Hatta terkenal sebagai pribadi yang amat sederhana. Sebagai seorang pejabat negara ia seorang yang jujur dan bersih serta hidup hemat. Jika suatu ketika ia melakukan kunjungan ke luar negeri, ia hanya membawa satu kopor ketika berangkat, dan satu kopor pula waktu pulang. Tidak pernah lebih dari itu. Saking sederhananya, ketika sudah mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden dan menjadi seorang pensiunan ia hampir saja tidak mampu membayar langganan air minum dan membayar iuran pembangunan daerah. Padahal sebagai seorang mantan wakil presiden, kalau saja Bung Hatta mau, pintu bisnis pasti cukup terbuka karena ia memiliki banyak kawan. Namun Bung Hatta memilih hidup sebagai seorang “bapak bangsa” yang tidak ingin ternoda dengan perilaku menyimpang ketika harus menjalani profesi yang lain. Kisah kesederhanannya banyak diketahui orang tentang keinginannya memiliki sepatu Bally yang terkenal cukup mahal. Ketidakmampuan dari segi keuangan jika harus segera membeli sepatu idamannya digambarkan ketika Bung Hatta akhirnya harus menyimpan guntingan iklan sepatu tersebut jika sewaktu-waktu dibutuhkan kalau uang sudah mencukupinya.
Cermin kesederhanaan lain dari Bung Hatta adalah ketika ia menolak haknya untuk dimakamkan di makam pahlawan jika wafat. Dalam surat wasiatnya yang tertanggal 10 Februari 1975 ia mengemukakan ...”Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.” Tanggal 14 Maret 1980 Bung Hatta telah mendahului kita menghadap Sang Khalik, namun jiwa dan semangatnya tetap bersama kita untuk menjadi tauladan abadi bagi generasi yang akan datang.
Sumber: http://basundoro-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-42104-Sejarah-BUNG%20HATTA,%20SANG%20NURANI%20BANGSA.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar